Kosong bait itu mencerminkan luka sejalan, seirama, senada
Tapi bukan malam sendu bersampul lara
Dulu itu sekarang sama
Hanya pecahan luka bertabur pembeda
Nelangsa itu tiba beriringan legawa
Membawa pesona pengganti tirani dalam jiwa
Saat angin mencengkeram silih berganti
Di ujung jalan hitam, aku tegak berdiri
Melenggangkan denting abadi, tapi tak jadi
Sungguh ku nelangsa, berharap gunung itu jadi mati
Tapi tak bisa karena aku sendiri
Detak jantungmu itu lagu lama yang lungsu
Langkah kakimu itu untaian janji palsu
Kerdipan matamu itu biasan angin lalu
Kau sadar aku siapa dan bagaiman aku
Gelombang lara yang kau lukis itu terpatri sangat olehmu
Walau kekosongan nelangsa terganti oleh legawa,
Aku sadar keabadaianku tetap menunggu


Sukma yang terkapar dalam bait tak rupa, dan mengasingkan jiwa di perantara luka
Tak lagi menyapa,  hanya seperti goresan di awan terbendung raga
Dulu…..
Kau bisa terbang meniti dunia
Kau lari menuju kolong perapian terhebat
Kau pahatkan anganmu sekuat baja

Sekarang…..
Saat embun pagi tak lagi menyapamu
Saat mentari tak mau lagi menyinarimu
Saat senja sudah lelah mengantarmu
Kau hanya bisa terkurung lemas di atas kuatnya tiranimu

Coba, luluhkan tegapnya angan yang rakus, tapi kau murka padaku
Inginku sayat hatimu yang beku, tapi tak ada daya kuasaku padamu
Inginku ubah patahan itu, tapi sudah kuat terpatri