Sekedar perasaan yang tak mengandung arti lebih
Atau hanya sebatas angan memiliki yang tak pasti
Taukah kau langit?
Berbicaralah pada awan
Bagaimana perasaanmu selalu setia menjadi hidupnya
Mungkin senja cemburu karena dia hanya ada saat sore menjelang malam

Taukah kau gelap?
Bagaimana rasanya kau hadir hanya disaat terang sudah beristirahat
Hujan pun tak sanggup menjadi kawan sejati
Karena takdirnya telah menanti
Badaipun tak berarti, dia terlahir bukan tuk menjadi baik

Kini, nanti, atau seribu tahun lagi
Sementara waktu trus berlari
Entah sampai kapan, hingga tak tersadar akan hilang
Atau mungkin tersimpan sampai nanti
Ah, biarlah terbawa laju angin
Sampai sang pemain akan mati

Dari: perasaan yang tak bertepi

sudah 22 tahun kaki kecil berpijak pada bumi mutiara hitam
tubuh sudah terbiasa bersandar pada tiang-tiang penjaga alam
hingga 264 bulan terjaga dalam belaian malam

sampai zamrud berkata "akupun sudah mulai uzur menunggumu,
tak apalah aku disini ada untukmu karena sabang sampai merauke setia untukku"
mungkin itu renungan sendu tuk jiwa yang 8030 hari masih bisa bernapas
janji seperti apa yang selalu pantas
untuk pertiwi yang kan terhempas

alam meminta suwardwipa tetap bertahan menahan amarahnya
sampai sekerumpulan binatang jalang tak menggodanya
apalah daya tubuh ini yangmenetap di jaza ir al-jawi
melihat ketidaknyamanan mereka
tak bisa tangan ini merengkuhnya tapi tengadah berbaris doa selalu terasa olehnya

untuk celebes-celebes manis duduk di sana
ingatlah gejolak kekhasan pulau emas masih punya rasa
agar bijih besi disana tetap masih ada

terasa borneo pun menyambut mesra
sapaan khatulistiwa masih ramah, jagalah dia agar tak marah
duniamu itu rumahmu dimana cucu-cucumu menantimu
sampai kapuas selalu berdamai denganmu

ingatlaj jazira al-muluk
tanah yang kau pijak jangan buat terpuruk
masih ada raja-raja bijaksana yang mendamaikan alam
hingga tak menjadi kelam

oleh : A.Ra

Benih nafas yang kau titipkan padaku
Bergulat ria menyentuh relung jiwa
Di ujung jemari ini desiran angin seakan menyentuh ujung jemariku
Berderai saru persatu mengikat jalin makna

Siapa yang berani melawan tulisan Tuhan?
Siapa yang berani menderu ombak dengan sapuan tangisnya?
Kidung itu mengubah segalanya

Dan lafalnya terangkai syahdu
Dan baitnya berjajar rapi
Dan dilantunkan dengan harmoni malam
Kau perantara masyur buaian sayang
Hingga kau tertidur lelap di dalam gita lawas
Untukmu ada sukma yang bertahan, untukmu ada jiwa yang terasa

Merpati itu tak bersua tetapi lajunya penuh lara
Terkadang angin sebagai sahabat sejati tak pernah ada
Tahukah kau pohon, peneduh jiwa yang hampa harus rela berjuang dalam duka?

Kuncupan bunga telah layu akan dirimu menjadi bias malam silih berganti mempertunjukan kehebatannya
Aku tahu tepian pantai yang tak bergelombang tak menyimpan gemuruh hanyalah mimpi sesaat yang palsu

Haus akan luka lama, dan mencoba bergerombol mencari luapan air yang sejuk teramat sulit bagiku
Semoga diri ini baik bagimu meneguk rangsamu akan angin yang berbicara halus


senja itu berganti desiran angin lalu
memahat sekar dalam pilu
ku digantung dalam pelantara lungsu
karena hentakkan sukma ini sudah kaku

saat sang bulan memijar perhiasannya
merengkuh sinar bulan penuh rasa
biasan resah sang gelap mengubah lara
terkadang malu menampakkan wajahnya
   


Kosong bait itu mencerminkan luka sejalan, seirama, senada
Tapi bukan malam sendu bersampul lara
Dulu itu sekarang sama
Hanya pecahan luka bertabur pembeda
Nelangsa itu tiba beriringan legawa
Membawa pesona pengganti tirani dalam jiwa
Saat angin mencengkeram silih berganti
Di ujung jalan hitam, aku tegak berdiri
Melenggangkan denting abadi, tapi tak jadi
Sungguh ku nelangsa, berharap gunung itu jadi mati
Tapi tak bisa karena aku sendiri
Detak jantungmu itu lagu lama yang lungsu
Langkah kakimu itu untaian janji palsu
Kerdipan matamu itu biasan angin lalu
Kau sadar aku siapa dan bagaiman aku
Gelombang lara yang kau lukis itu terpatri sangat olehmu
Walau kekosongan nelangsa terganti oleh legawa,
Aku sadar keabadaianku tetap menunggu