Benih nafas yang kau titipkan padaku
Bergulat ria menyentuh relung jiwa
Di ujung jemari ini desiran angin seakan menyentuh ujung jemariku
Berderai saru persatu mengikat jalin makna

Siapa yang berani melawan tulisan Tuhan?
Siapa yang berani menderu ombak dengan sapuan tangisnya?
Kidung itu mengubah segalanya

Dan lafalnya terangkai syahdu
Dan baitnya berjajar rapi
Dan dilantunkan dengan harmoni malam
Kau perantara masyur buaian sayang
Hingga kau tertidur lelap di dalam gita lawas
Untukmu ada sukma yang bertahan, untukmu ada jiwa yang terasa

Merpati itu tak bersua tetapi lajunya penuh lara
Terkadang angin sebagai sahabat sejati tak pernah ada
Tahukah kau pohon, peneduh jiwa yang hampa harus rela berjuang dalam duka?

Kuncupan bunga telah layu akan dirimu menjadi bias malam silih berganti mempertunjukan kehebatannya
Aku tahu tepian pantai yang tak bergelombang tak menyimpan gemuruh hanyalah mimpi sesaat yang palsu

Haus akan luka lama, dan mencoba bergerombol mencari luapan air yang sejuk teramat sulit bagiku
Semoga diri ini baik bagimu meneguk rangsamu akan angin yang berbicara halus


senja itu berganti desiran angin lalu
memahat sekar dalam pilu
ku digantung dalam pelantara lungsu
karena hentakkan sukma ini sudah kaku

saat sang bulan memijar perhiasannya
merengkuh sinar bulan penuh rasa
biasan resah sang gelap mengubah lara
terkadang malu menampakkan wajahnya
   


Kosong bait itu mencerminkan luka sejalan, seirama, senada
Tapi bukan malam sendu bersampul lara
Dulu itu sekarang sama
Hanya pecahan luka bertabur pembeda
Nelangsa itu tiba beriringan legawa
Membawa pesona pengganti tirani dalam jiwa
Saat angin mencengkeram silih berganti
Di ujung jalan hitam, aku tegak berdiri
Melenggangkan denting abadi, tapi tak jadi
Sungguh ku nelangsa, berharap gunung itu jadi mati
Tapi tak bisa karena aku sendiri
Detak jantungmu itu lagu lama yang lungsu
Langkah kakimu itu untaian janji palsu
Kerdipan matamu itu biasan angin lalu
Kau sadar aku siapa dan bagaiman aku
Gelombang lara yang kau lukis itu terpatri sangat olehmu
Walau kekosongan nelangsa terganti oleh legawa,
Aku sadar keabadaianku tetap menunggu


Sukma yang terkapar dalam bait tak rupa, dan mengasingkan jiwa di perantara luka
Tak lagi menyapa,  hanya seperti goresan di awan terbendung raga
Dulu…..
Kau bisa terbang meniti dunia
Kau lari menuju kolong perapian terhebat
Kau pahatkan anganmu sekuat baja

Sekarang…..
Saat embun pagi tak lagi menyapamu
Saat mentari tak mau lagi menyinarimu
Saat senja sudah lelah mengantarmu
Kau hanya bisa terkurung lemas di atas kuatnya tiranimu

Coba, luluhkan tegapnya angan yang rakus, tapi kau murka padaku
Inginku sayat hatimu yang beku, tapi tak ada daya kuasaku padamu
Inginku ubah patahan itu, tapi sudah kuat terpatri